Pengembangan Pembiayaan Kesehatan Masyarakat Bali

Wednesday, November 09, 2005

Dimuat di harian Bali Post 28 Oktober 2005

LEBIH dari setengah penduduk Bali belum memiliki jaminan pembiayaan kesehatan. Mereka adalah kelompok masyarakat yang bekerja di sektor informal dan golongan ekonomi menengah ke bawah. Masyarakat yang sudah memiliki jaminan pembiayaan kesehatan atau asuransi adalah pegawai pemerintah dengan program Askes 8,5%, keluarga miskin (gakin) dengan subsidi khusus dari pemerintah 15%, pegawai swasta dengan asuransi komersial 10% dan sisanya menjadi peserta program pemerintah lokal (seperti Jaminan Kesehatan Jembrana).
--------------------------------------
Inovasi Pemkab
Penyebab utama ketiadaan jaminan pembiayaan kesehatan antara lain karena status pekerjaannya (karyawan di perusahaan kecil atau bekerja di sektor informal), atau karena alasan ekonomi (tidak tergolong keluarga miskin untuk mendapat tanggungan program pemerintah, tetapi juga tidak mampu membayar program asuransi kesehatan komersial). Kelompok penduduk yang tidak memiliki jaminan pembiayaan kesehatan (uninsured population) cenderung menunda untuk mencari pelayanan kesehatan sampai keadaan kesehatannya memburuk. Untuk jangka panjang, uninsured population ini berdampak tinggi terhadap perekonomian. Mereka akan memiliki tingkat kesakitan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang memiliki jaminan pembiayaan kesehatan. Karena keadaan kesakitannya, uninsured population menjadi tidak produktif dalam roda perekonomian. Di lain pihak, kadangkala uninsured population meninggalkan utang di institusi pelayanan kesehatan. Utang yang tak terbayar tersebut akan menjadi beban keuangan di institusi pelayanan kesehatan tersebut. Kondisi seperti ini menjadi alasan utama perlunya pengembangan model pembiayaan pelayanan kesehatan yang akan mencakup seluruh penduduk di Bali.
Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang dikembangkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia, pemerintah daerah di Indonesia diberikan kewenangan untuk mengembangkan Sistem Kesehatan Daerah (SKD) di wilayahnya masing-masing dengan mengacu pada SKN (dengan lima subsistem, yaitu pelayanan, pembiayaan, sumber daya manusia kesehatan, obat dan perbekalan, pemberdayaan masyarakat dan manajemen kesehatan). Kewenangan ini diberikan dalam rangka penyelenggaraan pembangunan kesehatan di daerah. Pada tahap awal pengembangan SKD, subsistem pelayanan dan pembiayaan kesehatan mendapat prioritas untuk dikembangkan, seperti halnya SKN.
Beberapa pemerintah kabupaten di Bali serta pemegang kepentingan lainnya menindaklanjuti kewenangan yang telah diberikan. Hal tersebut dilandasi kesadaran bahwa jaminan pembiayaan kesehatan merupakan satu langkah menuju meningkatnya status kesehatan masyarakat. Masyarakat yang sehat merupakan modal utama pembangunan daerah.

Terjangkau Masyarakat
Bali sebagai satu kesatuan wilayah berbentuk pulau yang memiliki sistem administrasi kependudukan banjar yang khas, bisa menjadi pelopor pengembangan skema pembiayaan kesehatan untuk seluruh penduduk di Bali. Hal ini disepakati oleh beberapa pemegang kepentingan masalah pembiayaan kesehatan di Bali (Dinas Kesehatan se-Bali, Badan Perencana Pembangunan Daerah se-Bali, RS se-Bali, Puskesmas se-Bali, PT Askes, PT Jamsostek, akademisi dan pemerhati bidang kesehatan) yang bertemu pada 30 September 2005 lalu. Hasil pertemuan tersebut menyepakati bahwa model pembiayaan kesehatan sosial di Bali harus bersifat wajib dan menanggung pelayanan kesehatan komprehensif, seperti yang tertuang dalam SJSN.
Biaya premi hendaknya terjangkau secara ekonomi oleh seluruh kelompok masyarakat dan adanya asas gotong royong. Banjar dapat menjadi komponen program pembiayaan kesehatan untuk meningkatkan jumlah pooling of risks and resources, sehingga cakupan program menjadi semakin luas. Program yang sekiranya dikembangkan di Bali akan bersifat komplementer untuk menambah nilai manfaat dari SJSN yang berlaku di seluruh Indonesia. Misalnya, SJSN menanggung rawat inap di kelas III RS pemerintah, namun penduduk yang tertanggung dalam jaminan pembiayaan kesehatan Bali berhak untuk dirawat inap di kelas II RS pemerintah.
Dalam hal pengembangan skema pembiayaan kesehatan untuk masyarakat di Bali, stakeholder analysis perlu dilakukan untuk mengidentifikasi siapa dan apa kegiatan para pemegang kepentingan dalam sub sistem pembiayaan kesehatan. Hasil analisis akan mengidentifikasi semua pemegang kepentingan dalam sub sistem pembiayaan kesehatan, seperti pemerintah daerah, kepala Dinas Kesehatan se-Bali, kepala Puskmesmas se-Bali, kepala RS se-Bali, pengurus desa adat se-Bali, asosiasi pengusaha, pekerja sektor formal dan informal, perusahaan asosiasi asuransi kesehatan, dan lain-lain.
Langkah berikutnya adalah mengetahui tanggung jawab masing-masing pemegang kepentingan tersebut dan bagaimana hubungan koordinasi antar pemegang kepentingan. Misalnya dengan mengidentifikasi siapa yang berhak terdaftar dalam skema jaminan pembiayaan kesehatan, jumlah kontribusi premi dalam jaminan pembiayaan kesehatan dan mekanisme pengumpulan kontribusi tersebut.
Hal-hal teknis mengenai jaminan pembiayaan kesehatan semestinya dibahas secara seksama oleh para pemegang kepentingan subsistem pembiayaan kesehatan di Bali. Namun bagaimana pun, hal utama yang diperlukan oleh Bali jika ingin menjamin seluruh penduduknya dalam sebuah program jaminan pembiayaan kesehatan sosial adalah kemauan dan dukungan politis dari para pemegang keputusan di tingkat propinsi. Gubernur, DPRD dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Propinsi Bali, seyogianya bersepakat untuk mengembangkan jaminan pembiayaan kesehatan sosial yang mencakup seluruh penduduk di Bali dengan biaya terjangkau.
Penulis, peneliti bidang ekonomi dan kebijakan kesehatan di Unit Penelitian dan Latihan Epidemiologi Komunitas, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (UPLEK FK Unud) Denpasar

0 comments: