Dilema Puskesmas: Tarif versus Mutu

Wednesday, July 05, 2006

A. A. I. Nirmala Trisna

Puskesmas mengalami dilema dalam memberikan pelayanan kesehatan. Jajaran garis depan pelayanan kesehatan dihadapkan pada pilihan sulit. Tarif pelayanan Puskesmas murah, bahkan gratis, agar terjangkau masyarakat. Di sisi lain, petugas Puskesmas menerima insentif kecil, sehingga mereka tidak termotivasi untuk memberikan pelayanan prima. Wacana menaikkan tarif Puskesmas untuk memperbaiki kualitas pelayanan, ditanggapi masyarakat bahwa tarif Puskemas nantinya tidak terjangkau lagi oleh masyarakat miskin. Dilema ini jangan dibiarkan berlarut, agar Puskesmas tak melulu carut-marut. Masalahnya, bagaimana dilema ini diselesaikan dan stakeholders Puskesmas mana yang berperan?

Tarif versus mutu
Pusat kesehatan masyarakat atau Puskesmas dikembangkan sejak tahun 1968 oleh Depkes RI agar masyarakat di pelosok Indonesia dapat mengakses pelayanan kesehatan dasar. Sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan (Dikes) kabupaten/kota, Puskesmas bertanggungjawab menyelenggarakan upaya kesehatan dasar perorangan dan masyarakat. Namun sayangnya, untuk pelayanan perorangan, setelah hampir empat dekade, Puskesmas belum menjadi pilihan utama masyarakat utuk memperoleh pelayanan kesehatan. Menurut survei RAND Institute, masyarakat cenderung datang ke praktik swasta ataupun pengobatan tradisional daripada Puskesmas (Frankerberg et al., 1999). Survei Kesehatan Nasional 2004 juga melaporkan bahwa masyarakat cenderung berupaya mengobati dirinya sendiri daripada datang ke penyedia pelayanan kesehatan (PPK) (BPS, 2005). Mengapa? Alasan yang sering dikemukakan oleh masyarakat adalah rendahnya mutu pelayanan Puskesmas. Hal ini ditimpali oleh jajaran Dikes dan Puskesmas dengan argumen bahwa mutu rendah disebabkan oleh kecilnya insentif petugas. Keadaan ini sering dimaklumi oleh pengguna Puskesmas, dimana mereka tidak menuntut perbaikan mutu pelayanan karena menyadari mutu rendah adalah kompensasi dari tarif murah (doctrine of charitable immunity).

Wacana Puskesmas murah tapi tidak meriah masih tetap berkembang di era desentralisasi, ketika pemerintah kabupaten/kota memegang wewenang di daerahnya masing-masing. Dalam pelayanan kesehatan, pemerintah kab/kota menetapkan beragam kebijakan. Di Bali, sebagai contoh kasus, ada beberapa kab/kota yang menetapkan Puskesmas gratis, dan ada pula dengan tarif minim. Masyarakat senang bisa berobat murah, berbondong-bondong datang ke Puskesmas dan memenuhi ruang tunggu. Petugas Puskesmas, di lain pihak, tersenyum kecut karena harus bekerja lebih keras dengan uang jasa medis yang minim. Pelayanan pengobatan diberikan tanpa empati dan pelayanan luar gedung (outreach) dikerjakan sekedar simbolis. Akibatnya, masyarakat yang menuntut pelayanan bermutu dan memiliki dana lebih cenderung memilih PPK selain Puskesmas. Tantangannya, penduduk di wilayah kerja Puskesmas masih banyak yang belum menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Berbagai masalah kesehatan, mulai dari gizi buruk sampai penyakit infeksi masih tetap berkembang.
Kebijakan pemerintah kab/kota
Puskesmas sedang sakit. Pemerintah kab/kota seharusnya berupaya membuat kebijakan untuk menyembuhkannya. Apakah menaikkan tarif Puskesmas merupakan jalan keluar yang ampuh? Apakah menggratiskan Puskesmas dapat menyelesaikan masalah? Jawabannya: tidak, apalagi manajemen personalia dan keuangan Puskesmas, serta mekanisme asuransi sosial masih berantakan. Puskesmas memerlukan formulasi perhitungan biaya pelayanan agar jumlah tarif, subsidi pemerintah dan premium asuransi dapat dikalkulasi secara akurat. Tarif harus dikalkulasi berdasarkan perhitungan biaya yang detil dan valid. Demi terwujudnya keadilan secara vertikal (antara yang miskin dan kaya) dan horizontal (antara yang sakit dan sehat), tarif Puskesmas yang akurat harus ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah melalui mekanisme urun biaya ataupun asuransi sosial. Pendapatan Puskesmas jangan lagi masuk ke kas pemerintah kab/kota, melainkan dikelola oleh Puskesmas untuk peningkatan kinerja pelayanan. Tak kalah penting, pola punishment and rewards seharusnya dikembangkan untuk menuntut peningkatan kinerja personalia Puskesmas. Bahkan untuk Puskesmas di wilayah urban, re-branding Puskesmas menjadi health center dapat menjadi solusi untuk memperbaiki citra Puskesmas. Berbagai perbaikan pada sisi penawaran harus pula diikuti dengan edukasi dan sosialisasi untuk meningkatkan permintaan akan pelayanan Puskesmas. Masyarakat patut mendapat informasi promosi kesehatan dan pencegahan penyakit serta tahu bahwa Puskesmas menyediakan pelayanan yang bermutu dan terjangkau bagi semua kelompok masyarakat.

Sesungguhnya, panduan manajemen personalia dan keuangan Puskesmas serta undang-undang dan mekanisme asuransi kesehatan sosial telah ada. Namun, kebijakan pengelolaan Puskesmas yang disusun dan diedarkan oleh Depkes RI terbentur oleh koridor wewenang desentralisasi yang dimiliki oleh pemerintah kab/kota. Jajaran internal Puskesmas tidak dapat berjalan sendiri untuk menyelesaikan dilema tarif dan mutu. Komitmen dari pemerintah kab/kota, utamanya Bappeda, Dikes dan legislatif berperan untuk memperbaiki pengelolaan Puskesmas. Penyediaan pelayanan Puskesmas yang berkualitas adalah investasi publik pemerintah. Tentu, pelayanan berkualitas tidak murah. Bantuan pemerintah, baik dengan dana per penduduk miskin maupun pengembangan asuransi sosial, merupakan upaya yang harus dipadukan untuk meningkatkan mutu pelayanan Puskesmas yang terjangkau bagi masyarakat. Jangan sampai dilema tarif-mutu Puskesmas dibayar dengan rendahnya derajat kesehatan penduduk Indonesia.

0 comments: