KESEHATAN MENTAL PEMUDA: Sebuah Kajian Ekonomi

Wednesday, October 11, 2006

Oleh: Nirmala Trisna Anakagungistri

Community Epidemiologi Research and Training Unit
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Bali, Indonesia

Abstract
Government of Indonesia has not yet put youth’s mental health as priority in the agenda of health and human resources development. Currently, national health development strategy is on maternal, neonatal and child. The impact on health intervention gap during human’s life cycle is high tendency of youth with unstable mentality, which will lead to diminishing quality of human resources in Indonesia.
The paper aims to demonstrate the significance of lacking intervention program on youth’s mental health. Analysis should benefit stakeholders of human resources as basis for advocacy, decision making and policy design.
Method that is applied in the paper is cost utility analysis with social perspective on suicide cases in Sanglah Hospital, Bali. Outcomes of interventions are measured by Quality-Adjusted Life Years (QALYs). Two empirical alternatives are presented in the analysis, i.e. with preventative intervention and no intervention at all.
Without intervention, prevalence of suicide case is estimated 9 per 100,000 youths, with total cost of almost Rp 238.9 million and lost of 146.25 QALYs. With intervention, estimated prevalence of suicide case is reduced to 2.25 per 100,000 pemuda, with total cost of almost Rp 2.3 billion and lost of 36.56 QALYs. Cost utility analysis yields cost-utility ratio of Rp 18,5 milion.
The analysis indicates that intervention program is more effective than leaving youth to develop without having skills to manage stress. Thus, youth’s mental health should start to be policy priority as it is one effective solution to intervene the diverse health problems of youth. Yet, prime movers are required to accumulate political commitments and to collaborate various programs among stakeholders of human resources, e.g. government, private sector, community and family.

Keywords: cost utility analysis, quality-adjusted life years, mental health, youth, suicide

Pendahuluan
Di provinsi Bali, hampir seperempat penduduknya tergolong pemuda, yaitu penduduk berusia 10-24 tahun (BPS Provinsi Bali, 2005; WHO, 2005). Pemuda merupakan penggerak pembangunan bangsa pada umumnya dan daerah pada khususnya. Namun syaratnya, pemuda yang dapat menjadi penggerak pembangunan adalah mereka yang berada dalam kondisi sehat. Jika tidak, akan semata-mata menjadi beban pembangunan. Yang dimaksud dengan sehat adalah bukan sekedar sehat jasmani saja, tetapi sehat secara mental, baik intrapersonal maupun sosial. Hal ini dimaksud agar pemuda dapat secara proaktif mengembangkan dirinya dalam mengelola berbagai sumber daya pembangunan untuk kepentingan negara. Dengan demikian, pemuda yang merupakan modal pembangunan adalah mereka yang sehat secara komprehensif.

Namun sayangnya, sampai dengan saat ini, Indonesia belum memprioritaskan kesehatan pemuda, terlebih kesehatan mentalnya. Hal ini dapat dilihat pada serangkaian indikator Indonesia Sehat (IS) 2010, yang merupakan benchmark pembangunan kesehatan Indonesia. Indikator-indikator dalam IS 2010 antara lain standar angka kematian bayi, balita dan ibu melahirkan, angka kesakitan malaria, prevalensi human immuno-defficiency virus (HIV), persentase bayi yang mendapat air susu ibu, persentase murid sekolah dasar yang mendapat pemeriksaan gigi dan mulut, angka kecelakaan lalu lintas, cakupan kepesertaan jaminan pembiayaan kesehatan, persentase pekerja yang mendapat pelayanan kesehatan kerja, dan lain-lain (Depkes RI, 2003). Belum ada satupun dari 50 indikator IS 2010 yang merupakan indikator kesehatan remaja dan pemuda, termasuk kesehatan jiwanya.

Dalam pembangunan kesehatan, Pemerintah Indonesia sedang memberikan prioritas dan investasi besar pada program-program intervensi kesehatan ibu, bayi dan balita. Hal ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa kualitas kesehatan ibu, bayi dan balita di Indonesia masih berada di bawah keadaan negara-negara tetangga di Asia. Dengan adanya intervensi kesehatan ibu, bayi dan balita, dampak yang diharapkan adalah generasi baru Indonesia dapat lahir sehat, lalu tumbuh dan berkembang sampai remaja. Namun, sampai tahap ini, umumnya kesehatan fisik dan mental remaja kurang mendapat perhatian, baik oleh orangtua, pendidik maupun para pemangku kepentingan pemuda lainnya. Jumlah dan jenis intervensi kesehatan dengan target pemuda masih terbatas dan belum efektif untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia penggerak pembangunan. Dampak yang mungkin terjadi akibat terputusnya siklus intervensi kesehatan adalah tingginya kecenderungan bahwa pemuda tersebut akan memiliki mental yang kurang sehat dan tidak stabil. Kualitas sumber daya manusia cikal penggerak roda pembangunan bangsa menjadi berkurang. Return on investment berbagai program intervensi kesehatan ibu, bayi dan balita di Indonesia menjadi tidak optimal.

Kajian ini bertujuan untuk memberikan gambaran moneter mengenai signifikansi dampak kurangnya intervensi kesehatan mental pemuda. Hasilnya akan memberikan manfaat bagi para pemangku kepentingan kesehatan, khususnya kesehatan pemuda, sebagai dasar advokasi, pengambilan keputusan maupun pembuatan kebijakan.

Metode
Metode analisis yang digunakan adalah cost utility analysis, yaitu suatu jenis analisis efektifitas biaya, dimana manfaat suatu intervensi dikonversikan menjadi jumlah tahun yang berhasil diselamatkan dan disesuaikan dengan hilangnya kualitas hidup akibat morbiditas atau efek samping dari intervensi (Haddix, Teutsch, Corso, 2003). Pengukuran efektifitas suatu intervensi dilakukan dengan menghitung rasio biaya dan manfaat, dimana biaya (Rp) dibandingkan dengan jumlah tahun yang berhasil diselamatkan oleh intervensi yang bersangkutan. Rasio yang semakin kecil mengindikasikan intervensi semakin efektif.

Kajian dilakukan dengan perspektif sosial, dimana semua biaya yang timbul akibat kasus bunuh diri akan dihitung tanpa melihat siapa yang menanggungnya. Terkait dengan tujuan dan manfaat di atas, kajian ini mengangkat masalah tingginya kasus bunuh diri, baik yang berhasil (committed suicide) ataupun tidak (attempted suicide) di Bali. Dua alternatif empiris menjadi bahan kajian, yaitu melakukan intervensi pencegahan (opsi A) dan tidak melakukan intervensi apapun (opsi B). Rasio biaya dan manfaat dari dua alternatif empiris tersebut dibandingkan untuk melihat alternatif yang biayanya lebih efektif, diindikasikan dengan rasio biaya-manfaat yang lebih rendah. Biaya-biaya yang akan dihitung terdiri dari biaya pencegahan yaitu program intervensi kesehatan mental pemuda, kerugian ekonomi (burden) pasca-attempted suicide maupun committed suicide.

Hasil dan pembahasan
Skenario kasus kesehatan mental pemuda
Menurut data RSUP Sanglah, jumlah kasus attempted suicide adalah 54.8% dari 248 kasus gangguan jiwa yang ditangani di instalasi rawat jalan RS Sanglah pada tahun 2004, atau sekitar 136 kasus. Hampir semua kasus tersebut (90%) disebabkan oleh gangguan kejiwaan, seperti depresi, kepribadian impulsif/tak stabil dan skizofrenia (Setyawati, 2006). Jika diasumsikan setengah dari korban attempted suicide yang ditangani RSUP Sanglah adalah pemuda, maka prevalensi bunuh diri di antara kelompok pemuda di Bali adalah 8.6 per 100.000.

Terdapat dua pilihan untuk mengatasi tingginya prevalensi bunuh diri pada pemuda di Bali, yaitu menyelenggarakan safari pendidikan kesehatan jiwa di sekolah menengah di Bali untuk membantu remaja mengatasi stres dan depresi (opsi A), atau tidak melakukan apapun (opsi B). Dampak opsi A adalah terpenuhinya angka harapan hidup pemuda yang dijaga kesehatan mentalnya dari risiko depresi, yaitu 67,9 tahun (target Indonesia Sehat 2010). Sedangkan dampak opsi B adalah menurunnya angka harapan hidup pemuda karena mengalami depresi menjadi hanya 25 tahun, dengan asumsi pada usia tersebut terjadi committed suicide.

Cost utility analysis
Analisis biaya. Berikut ini adalah uraian biaya yang dikaji dari kedua pilihan intervensi, yaitu biaya pencegahan, kerugian ekonomi (biaya) pasca-attempted suicide, serta biaya committed suicide. Biaya dan kerugian ekonomi yang dihitung adalah yang bersifat langsung, tak langsung maupun opportunity cost (biaya atas kesempatan yang hilang).

· Biaya pencegahan berupa program intervensi kesehatan mental pemuda:
Biaya dengan asumsi minimal untuk pembayaran honor dan transportasi para pakar/dokter dan produksi brosur ‘manajemen stres’ adalah Rp 4 juta per sekolah dan Rp 5 juta untuk pengembangan halaman internet. Dari data BPS (2005), terdapat 517.000 siswa sekolah menengah di 549 SMP/SMA/SMK di Bali. Total biaya opsi A adalah Rp 2.2 milyar per tahun.
· Biaya pasca-attempted suicide:
Dengan asumsi biaya minimal di RS Sanglah dan korban tidak mengalami kerusakan fisik dan syaraf, total biaya minimal perawatan pasca-attempted suicide adalah Rp 842.500. Angka ini merupakan biaya rawat inap dua hari di kelas III RSUP Sanglah, biaya lima kali rawat jalan, biaya obat anti depresi dan kehilangan satu bulan produktifitas korban yang setara dengan upah minimum kota Denpasar. Biaya konseling jiwa tidak dihitung karena besarnya bervariasi dan tergantung kasus.
· Kerugian ekonomi (burden) akibat committed suicide
Perhitungan burden akibat bunuh diri juga berdasarkan asumsi minimal dan tidak memperhitungan net present value dari biaya yang muncul di masa mendatang. Total kerugian ekonomi minimal sebesar Rp 25.7 juta per kasus, terdiri dari biaya pengurusan mayat, biaya penguburan/kremasi, dan kehilangan produktifitas selama 40 tahun (selisih antara usia pensiun 65 tahun dengan asumsi meninggal akibat bunuh diri pada usia 25 tahun).

[Tabel 1]

Analisis manfaat. Dampak dari kedua pilihan intervensi dikonversikan menjadi jumlah tahun yang berhasil diselamatkan oleh intervensi yang bersangkutan, lalu disesuaikan dengan menurunnya kualitas hidup akibat morbiditas atau efek samping dari intervensi. Pengukuran dampak tersebut dikenal dengan istilah Quality-Adjusted Life Years (QALYs), yang besarnya antara 0, berarti mati, dan 1, berarti sehat. (Haddix, Teutsch, Corso, 2003).

Dengan memilih opsi A, dimana ada program intervensi kesehatan mental pemuda, setiap tahun kehidupan pemuda memiliki nilai 1 QALY, yaitu sehat fisik dan mental. Jumlah umur hidup setiap pemuda yang berhasil diselamatkan dari risiko bunuh diri adalah 68 tahun (sesuai dengan angka harapan hidup waktu lahir di Indonesia), sama dengan 68 tahun dikali 1 QALY, menjadi 68 QALYs. Jika opsi B yang dipilih, maka QALY setiap tahun kehidupan pemuda berkurang menjadi 0.65, kualitasnya hidupnya berkurang akibat depresi. Dengan pilihan ini, QALYs per pemuda yang diselamatkan hanya 25 tahun (asumsi usia bunuh diri) atau sama dengan 25 tahun dikali 0.65 QALYs, menjadi 16.25 QALYs. Dari analisis utilitas ini, dapat dihitung bahwa opsi A memberikan tambahan QALYs per pemuda sebanyak 51.75.

[Tabel 2]

Perhitungan cost utility analysis. Untuk mendapatkan rasio biaya per QALYs, maka dilakukan kombinasi antara dua analisis yang telah dilakukan di atas, yaitu biaya dan manfaat dari kedua pilihan intervensi.

Tanpa intervensi, diestimasi akan muncul sembilan kasus bunuh diri baru di antara 100.000 orang pemuda di Bali, mengakibatkan biaya total penanganan kasus bunuh diri hampir mencapai Rp 238.9 juta dan kehilangan 146.25 QALYs. Dengan adanya intervensi program pendidikan kesehatan mental di sekolah menengah, diestimasikan kasus bunuh diri akan dapat diturunkan menjadi 2.25 kasus baru per 100.000 orang pemuda di Bali. Dengan intervensi tersebut, total biaya hampir mencapai Rp 2.3 milyar, terdiri dari biaya program pencegahan ditambah biaya penanganan kasus bunuh diri. QALYs yang hilang dalam skenario ini menjadi 36.56 QALYs. Akibat program intervensi, terjadi penambahan biaya lebih dari Rp 2 milyar, sedangkan QALYs yang hilang menurun 109.69 QALYs. Dengan membagi penambahan biaya akibat intervensi dengan angka perubahan QALYs, maka dihasilkan rasio cost-utility sebesar Rp 18,5 juta.

[Tabel 3]

Simpulan dan saran
Simpulan
Kajian ini memberikan gambaran signifikansi kasus-kasus bunuh diri yang terjadi di Bali, dimana generasi penggerak pembangunan bangsa mati sia-sia karena kondisi mentalnya yang tidak stabil. Cost utility analysis dari skenario yang dipaparkan diatas menggambarkan bahwa program pembinaan kesehatan mental pemuda di sekolah lebih efektif dibandingkan dengan membiarkan pemuda berkembang tanpa mendapatkan intervensi bagaimana mengelola stress di sekolah, keluarga maupun pergaulan. Dengan menyelenggarakan program intervensi kesehatan mental pemuda di sekolah, kerugian yang lebih besar akibat bunuh diri dapat dicegah. Biaya dari program intervensi tersebut adalah Rp 18,5 juta per QALYs yang diselamatkan, dibandingkan dengan estimasi kerugian ekonomi yang bisa mencapai lebih dari Rp 238 juta untuk menangani kasus bunuh diri (attempted maupun committed suicide).

Rekomendasi
Kesehatan mental sebaiknya mulai menjadi prioritas pembangunan sumber daya manusia di Bali. Program kesehatan mental tersebut dapat menjadi solusi efektif untuk mengintervensi berbagai masalah kesehatan pada pemuda, khususnya remaja, mulai dari depresi, kasus bunuh diri, penyalahgunaan obat, kehamilan yang tidak diinginkan dan lain-lain. Dalam hal ini, diperlukan penggerak utama untuk menggalang komitmen politik dari para pemangku kepentingan sumber daya manusia di Bali. Penggerak utama ini juga penting dalam mengatur kolaborasi program yang diselenggarakan oleh berbagai pihak, mulai dari swasta, kalangan pendidikan, pemerintah maupun keluarga.

Daftar Bacaan
Biro Pusat Statistik Propinsi Bali. Bali dalam angka 2004/2005. BPS Propinsi Bali. 2005.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Indikator Indonesia Sehat 2010 dan pedoman penetapan indikator Provinsi sehat dan Kabupaten/kota Sehat. Keputusan Meteri Kesehatan Nomo 1202/Menkes/SK/VIII/2003. Depkes RI. Jakarta. 2003.

Haddix, A.C., Teutsch, S.M., Corso, P.S. Prevention effectiveness, a guide to decision analysis and economic evaluation. Oxford University Press. New York. 2003.

Setyawati, Lely. Bunuh diri pada remaja. Presentasi dalam diskusi “Sayangi Remaja” di Denpasar, Bali, 25 Februari 2006.

World Health Organization. Child and adolescent health. Diambil dari URL: http://www.who.int/child-adolescent-health/OVERVIEW/AHD/adh_over.htm. Diakses pada tanggal 2 Maret 2006.

0 comments: